3 Juni 2016 By Vita Novianti
Artikel ini merupakan karya
peserta kompetisi menulis #CintaDalamKata yang diadakan oleh IDNtimes.com.
Teruntuk
Sahabat yang Selalu Aku Banggakan: “Kita Kawan Sampai Kapanpun” Tuhan
mengirimiku sahabat terbaik yang pernah ada dalam kehidupanku.
Hai kawan,
sudah berpuluh-puluh jam kita lewatkan tanpa bertatap muka sejak 2013 silam.
Sedikit basa-basi, apa kabarmu di sana? Bagaimana kau melalui hari-harimu tanpa
kehadiran temanmu ini? Apakah kecantikanmu lebih merona dari terakhir kita
berjumpa? Tersenyumlah sayang, tapi semua kata-kata ini tertulis dengan tulus
dari lubuk hati yang paling dalam. Tertawalah terbahak-bahak, biar kubayangkan
lengkungan manis bibirmu dalam benakku.
Hari-hariku begitu kosong tanpa kehadiranmu.
Aku merindukan kebersamaan kita yang telah hilang. Jika kau bertanya dalam
hatimu tentang diriku, aku baik-baik saja, namun sangat merindukan waktu-waktu
indah yang pernah kulalui bersamamu. Saat-saat kita tertawa, saat-saat
membicarakan hal-hal tidak penting, saat-saat menangis bersama, semuanya sangat
kurindukan. Aku tidak pernah membayangkan betapa hari-hariku ini akan sangat
kosong tanpa kehadiranmu. Kau bilang ini gombal? Biarkanlah, karena kegombalan
ini hanya bisa kulakukan saat wajahmu tidak bisa kulihat secara langsung. Saat
kita berpisah, kau sangat mengetahui bahwa kondisi batinku ini sedang hancur.
Bukan karena patah hati ataupun dicampakkan kekasih, karena kau tahu temanmu
ini adalah jomblo sejati. Kejiwaanku ini sedang Tuhan uji dengan kesakitan yang
bernama depresi, dan aku sangat mengetahui betapa tanpa lelahnya dirimu
berjuang untuk membantuku bangkit dari keterpurukan ini. Dengan semangat
pantang menyerah dan tanpa menghiraukan kesakitan yang kau alami dengan melihat
keadaanku, kau tetap mencoba dan mencoba membuatku berdiri tegak seperti sedia
kala. Kawan, keadaanku tak jauh lebih baik dari yang dulu. Aku yang sekarang
adalah selemah-lemahnya diriku. Kau penasaran dengan diriku yang sekarang? Tak
jauh berbeda kawan. Hatiku masih belum pulih dari penyakit itu, penuh luka
karena lelah akan penilaian orang terhadapku. Terkadang air mata ini sulit
terbendung. Andaikan kau ada di depanku, ingin rasanya berbagi rasa denganmu,
memelukmu, dan menangis sekeras mungkin di hadapanmu. Aku yang dulu adalah aku yang
selalu berusaha kuat dan menyembunyikan kesakitanku. Tapi aku yang sekarang,
yang sedang menulis surat untukmu, adalah selemah-lemahnya diriku yang tak
sanggup menggunakan topeng ketegaran seperti dulu. Malukah kau dengan diriku
yang sekarang kawan? Senyuman saja sangat jarang menghiasi wajahku yang
biasa-biasa ini, apalagi untuk tertawa terbahak-bahak. Jika boleh kupinta,
meskipun kau malu dengan keadaanku yang belum berubah, maukah kau tetap menjadi
sahabatku? Biarkanlah aku tak bisa kau banggakan di depan orang-orang, tapi
bolehkah kau membiarkanku membanggakanmu di depan khalayak ramai? Tak
henti-hentinya aku membanggakanmu.
Kau adalah
sahabat terbaik yang pernah Tuhan kirimkan padaku. Dalam hati kau pasti
bertanya, “Apa yang bisa kau banggakan dari diriku?”. Kau ingin tahu? Tentu
sangat banyak yang bisa kubanggakan darimu, tapi akan kusebutkan beberapa yang
membuatku bangga memiliki kawan sepertimu. Kau selalu ada di setiap hari-hari
bahagiaku, tapi kau juga ada di setiap hari-hari terburukku. Kau tidak pernah
lelah menasehatiku demi kebaikanku, padahal aku yakin kesabaran manusia itu ada
batasnya, kau pun juga begitu kan? Kau rela menempuh ribuan kilometer untuk
mengunjungiku disaat tak ada kabar yang kau dengar dariku, padahal kau
sembunyikan kenyataan bahwa kau baru saja sembuh dari sakit. Kau, terlalu
banyak hal yang bisa kubanggakan pada dirimu kawan. Dari tiga hal diatas saja,
aku sudah bisa membanggakanmu di depan banyak orang “Lihatlah! Tuhan
mengirimiku sahabat terbaik yang pernah ada di kehidupanku! Apakah kalian
memiliki sahabat seperti dia? Meskipun aku berpenyakit hati, tapi dia tak
pernah meninggalkanku!”. Berlebihan? Biarlah. Anggaplah rasa banggaku ini
sebagai bentuk rasa syukurku pada Tuhan karena mempertemukanku denganmu di
dunia ini. Melewati ujian Tuhan ini, aku menyadari bahwa Tuhan sebetulnya
sedang menunjukkan arti kawan yang sesungguhnya untukku. Sekiranya kelak saat
di surga kau tak bertemu denganku, maukah kau menanyakan keberadaanku pada
Tuhan?
Teringat
pesan seorang ulama yang berpesan kepada sahabatnya sambil menangis, “Jika kau
tidak menemuiku di surga bersamamu, maka tolong tanyakan kepada Allah tentang
aku; Wahai Tuhan kami, sahabat kami sewaktu di dunia selalu mengingatkan kami
tentang Engkau, maka masukkanlah dia bersama kami di surga”. Sehubungan dengan
pesan tersebut, Allah pun menjawab, “Pergilah ke neraka, lalu keluarkanlah
sahabat-sahabatmu yang di hatinya ada iman, walau hanya seberat zarrah”.
Sekiranya kelak saat di surga kau tak bertemu denganku, maukah kau menanyakanku?
Aku pun demikian, akan kucari kau dan mengajakmu ke surga, kita reunian di
surga dengan kebahagiaan abadi. Pasti kau berpikir “Yakin masuk surga?”. Ayo
berjuang bersama, bukankah tempat tinggal abadi yang kita cita-citakan hanyalah
surga? Jelas aku bukanlah manusia sempurna, tapi aku akan berusaha memperbaiki
diri agar kita bisa bertemu di tempat indah tersebut. Di dunia sangatlah sulit
bagi kita untuk bertemu dan belum tentu Tuhan memberi kita cukup waktu untuk
bersua. Tapi bukankah begitu istimewa apabila kita reunian di surga bersama
orang-orang terbaik pilihan-Nya? Ah, membayangkannya saja terasa sangat indah
ya kawan. Hingga saat ini, aku selalu mengingat pesan darimu: “Kita kawan
sampai kapanpun”. Kawan, aku akan terus berjuang melawan depresi ini. Meskipun
kita tidak saling menghubungi, tapi aku yakin hati kita tetap Tuhan persatukan
dengan ikatan-Nya. Jangan pernah lelah denganku karena aku sangat berterima
kasih atas segala hal yang kau lakukan untukku. Aku lelah padamu?
Hei,
seingatku selama ini yang membuat masalah hanya aku saja. Kau? Ah, kau terlalu
baik untuk menyembunyikan masalahmu di depanku. Di masa mendatang, jangan kau
ragu berbagi keluh kesahmu padaku, karena aku pun akan selalu ada di saat
bahagia dan sedihmu. Kita kawan sampai kapanpun, itu yang kau ajarkan. Meskipun
maut kelak memisahkan, semoga Tuhan perkenankan kita berkumpul di surga-Nya.
Aku akhiri surat ini dengan mengatakan ,“Aku mencintaimu karena Allah kawan”.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan